My watch showed 1300 when we got to Parapat , kota kecil yang
terletak di salah satu “bibir” danau
Toba, jaraknya sekitar 176 kilo meter
dari jantung kota Medan. Kami menyempatkan diri untuk beristirahat
sejenak sekitar 2 kilo dari kota, untuk menikmati pemandangan danau Toba dari “atas”
–dan memang pemandangannya "ruaaarrrrrr biasa" kayak iklan
extra jos bilang. Luass banget, kayak laut deh pokoknya…
The great Toba lake
Setelah puas “menikmati” danau
Toba dari atas, kami melanjutkan perjalanan “turun” ke kota untuk mencari
tempat makan, berhubung perut sudah
"keroncongan" dari tadi. Udara dingin sepanjang perjalanan
dari Pematang Siantar membuat rasa lapar semakin menjadi-jadi.
Sesampai di kota kami langsung
“hunting” rumah makan yang bisa dijadikan tempat untuk memuaskan dahaga
dan rasa lapar. Mencari tempat makan di kota ini tidak terlalu sulit, ada
banyak rumah makan disini,dari yang halal sampai yang non-halal. Tapi berhubung
hari ini hari Minggu jadi warung banyak yang tutup. Akhirnya sebuah
warung makan di pojok jalan (nama jalannya lupa) menjadi pilihan kami untuk
beristirahat.
Luch time in Parapat
Setelah menikmati makan siang
dan melepas lelah sejenak, perjalanan kami lanjutkan menuju pelabuhan penyebrangan
ke Pulau Samosir. Ahh..orang bilang kalau berkunjung ke danau Toba belum
lengkap rasanya jika tak berkunjung ke pulau Samosir. Mereka adalah
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan #hallah. Ya,
mungkin bisa dibilang pulau Samosir merupakan sentral pariwisata danau Toba.
Kami pun berangkat ke pelabuhan. Nama pelabuhannya kalau tidak salah
“Ajibata”. Mohon dikoreksi jika salah yah ?
Pelabuhan Ajibata : Hiruk-pikuk penumpang ke Samosir
Seperti pelabuhan pada
umumnya, sudah pasti banyak truk-truk yang simpang siur, sepertinya truk-truk mengangkut muatan dari Ferry. Di pelabuhan itu banyak
rumah dan warung-warung penduduk setempat. Kami pun mencari informasi
tentang jam keberangkatan kapal Ferry selanjutnya ke Samosir, yaitu pkl 14.30, how lucky we were!!, hampir saja kami ketinggalan Ferry. Ferry berangkat hanya 2x, dan kami mendapatkan Ferry terakhir. Hanya "excited feeling" yang ada tatkala pantatku telah kududukkan dengan manisnya disalah satu kursi di deck, hati bergumam "sebentar lagi aku akan melihat pulau Samosir..yayy". Tak berselang lama, Ferry perlahan bergerak meninggalkan dermaga.
Perjalanan memakan waktu kurang lebih 45 menit -1 jam untuk sampai ke pulau. Sepanjang perjalanan kami “sibuk” berfoto-foto dan menikmati keindahan danau Toba…the lake is truly amazing. Lagu bang Tongam Sirait terus terngiang dan terus kunyanyikan dalam hati,….. “come to lake Toba , you will enjoy with us, if you come to our place , a beautiful life you will find ”….Tidak salah bang Tongam menciptakan dan menyayikan lagu ini, karena apa yang digambarkannya tentang danua Toba didalam lirik lagunya benar-benar sesuai dengan kenyataanya. Lagunya memang benar-benar, sangat amat PASS! “ #hallah!!
Perjalanan memakan waktu kurang lebih 45 menit -1 jam untuk sampai ke pulau. Sepanjang perjalanan kami “sibuk” berfoto-foto dan menikmati keindahan danau Toba…the lake is truly amazing. Lagu bang Tongam Sirait terus terngiang dan terus kunyanyikan dalam hati,….. “come to lake Toba , you will enjoy with us, if you come to our place , a beautiful life you will find ”….Tidak salah bang Tongam menciptakan dan menyayikan lagu ini, karena apa yang digambarkannya tentang danua Toba didalam lirik lagunya benar-benar sesuai dengan kenyataanya. Lagunya memang benar-benar, sangat amat PASS! “ #hallah!!
TOMOK – SAMOSIR
Voilaaaa….here we are!! Setelah menempuh kurang lebih 1 jam perjalan dengan Ferry, kami pun menginjakkan kaki di pulau Samosir tepatnya di Tomok. Tomok salah satu kota pariwisata di pulau Samosir disamping Tuk-Tuk.
Setelah “unloading” motor dari Ferry kami langsung mencari parkiran. Sepanjang jalan dipenuhi toko-toko souvenir, tipikal objek wisata pada umumnya. Benar saja, ternyata disini emang ada objek wisata. Objek wisata rumah adat Batak (Rumah Bolon) dan sarkopagus raja Sidabutar. Saya sudah tak sabar ingin melihatnya.
Saya terkesan pertama kali
melihat rumah adat Batak “Rumah Bolon ” secara
langsung, model bangunannya “agak” mirip rumah adat suku Toraja “Tongkonan”. Bagian
atap melengkung bak perahu. Bedanya rumah adat “Tongkonan” lebih tinggi
dan lebih melengkung dibagian atap dan tidak runcing. Sedangkan rumah Bolon lebih pendek dan tidak terlalu melengkung tapi
lebih runcing . Satu lagi kesamaanya, bagian kolong rumah jaman dahulu dufungsikan
sebagai tempat memelihara hewan ternak (ex kerbau, ayam dsb). Menarik bukan? Ini foto yang sempat saya
ambil.
Rumah Bolon - Tomok
Bandingkan dengan Rumah Tongkonan ini :
Sedikit mirip bukan,,,semoga gak maksa miripnya yah hehe
PATUNG
SIGALE-GALE DAN SARKOPAGUS RAJA
SIDABUTAR
Setelah melihat-lihat rumah Bolon, masih ditempat yang
sama saya diajak teman-teman untuk melihat patung “sigale-gale” .Patung sigale-gale ini punya cerita sendiri, begini
ceritanya :
Dahulu kala ada seorang Raja
yang sangat bijaksana yang tinggal di wilayah Toba. Raja ini hanya memiliki
seorang anak, namanya Manggale. Pada zaman tersebut masih sering terjadi
peperangan antar satu kerajaan ke kerajaan lain. Raja ini menyuruh anaknya
untuk ikut berperang melawan musuh yang datang menyerang wilayah mereka.
Pada saat peperangan tersebut
anak Raja yang semata wayang tewas pada saat pertempuran
tersebut.Sang Raja sangat terpukul hatinya mengingat anak satu-satunya sudah
tiada, lalu Raja jatuh sakit. Melihat situasi sang Raja yang semakin hari
semakin kritis , penasehat kerajaan memanggil orang pintar untuk mengobati
penyakit sang Raja, dari beberapa orang pintar (tabib) yang dipanggil
mengatakan bahwa sang Raja sakit oleh karena kerinduannya kepada anaknya yang
sudah meninggal. Sang tabib mengusulkan kepada penasehat kerajaan agar dipahat
sebuah kayu menjadi sebuah patung yang menyerupai wajah Manggale, dan saran
dari tabib inipun dilaksanakan di sebuah hutan. Ketika Patung ini telah
selesai, Penasehat kerajaan mengadakan satu upacara untuk pengangkatan Patung
Manggale ke istana kerajaan. Sang tabib mengadakan upacara ritual, meniup
Sordam dan memanggil roh anak sang Raja untuk dimasukkan ke patung tersebut.
Patung ini diangkut dari sebuah pondok di hutan dan diiringi dengan suara
Sordam dan Gondang Sabangunan.Setelah rombongan ini tiba di istana kerajaan ,
Sang Raja tiba-tiba pulih dari penyakit karena sang Raja melihat bahwa patung
tersebut persis seperti wajah anaknya.Nah , begitulah asal mula dari
patung Sigale-gale (Patung putra seorang Raja yang bernama Manggale).
Ahh aku mulai berfikir adat suku Toraja dan adat suku Batak mempunyai beberapa kemiripan. Jika di suku Batak dikenal patung “sigale-gale” , di suku Toraja juga ada “ tau-tau”. Patung tau-tau juga dibuat oleh keluarga sebagai “foto” dari anggota kluarga yang telah meninggal. Jaman dahulu tidak ada kamera untuk mengabadikan wajah anggota keluarga yang telah meninggal, maka dibuatlah “tau-tau” nya semirip mungkin. Kayak ini nih :
Ahh aku mulai berfikir adat suku Toraja dan adat suku Batak mempunyai beberapa kemiripan. Jika di suku Batak dikenal patung “sigale-gale” , di suku Toraja juga ada “ tau-tau”. Patung tau-tau juga dibuat oleh keluarga sebagai “foto” dari anggota kluarga yang telah meninggal. Jaman dahulu tidak ada kamera untuk mengabadikan wajah anggota keluarga yang telah meninggal, maka dibuatlah “tau-tau” nya semirip mungkin. Kayak ini nih :
tau-tau
Beberapa meter dari patung
sigale-gale ada objek wisata berikutnya yaitu “makam /sarkopagus ” Raja Tomok ,
Sidabutar -yang paling besar. Kuburan ini sudah berumur kurang lebih 500 tahun
dan masih terawat dengan baik.
Dibagian kepala sarkopagus ini dibuat besar sebagai simbol raja Sidabutar dan ujung yang lain adalah simbol permaisuri, Boru Damanik.Ada dua buah patung gajah di sisi sarkopagus ini, yang konon semasa hidup raja Sidabutar pernah menghadiahkan kuda kepada raja Aceh karena telah "mengajari" raja Sidabutar berperang tanpa harus membunuh. Nah, sebagai balasan raja Aceh pun memberikan dua ekor gajah. Ini menurut cerita yang saya dengar, mohon dikoreksi jika salah ya :).
Disekitar pemakaman itu juga ada patung-patung kecil membentuk lingkaran dan salah satunya memegang tombak. Dahulu, tempat itu digunakan sebagai tempat upacara/ritual untuk “meminta” hujan dengan mengorbankan seekor kerbau. Kerbau tersebut akan ditombak 7 kali, jika banyak darah yang keluar berarti permintaan akan terkabul, sebaliknya jika tidak ada darah maka permintaan pun tidak akan terkabul. Wah seru juga yah..
Dibagian kepala sarkopagus ini dibuat besar sebagai simbol raja Sidabutar dan ujung yang lain adalah simbol permaisuri, Boru Damanik.Ada dua buah patung gajah di sisi sarkopagus ini, yang konon semasa hidup raja Sidabutar pernah menghadiahkan kuda kepada raja Aceh karena telah "mengajari" raja Sidabutar berperang tanpa harus membunuh. Nah, sebagai balasan raja Aceh pun memberikan dua ekor gajah. Ini menurut cerita yang saya dengar, mohon dikoreksi jika salah ya :).
Disekitar pemakaman itu juga ada patung-patung kecil membentuk lingkaran dan salah satunya memegang tombak. Dahulu, tempat itu digunakan sebagai tempat upacara/ritual untuk “meminta” hujan dengan mengorbankan seekor kerbau. Kerbau tersebut akan ditombak 7 kali, jika banyak darah yang keluar berarti permintaan akan terkabul, sebaliknya jika tidak ada darah maka permintaan pun tidak akan terkabul. Wah seru juga yah..
Foto-foto nya :
Sarkopagus Raja Sidabutar - Tomok
Objek wisata Sigale-gale
Sarkopagus Sidabutar
It's Welly, Rita, Ewis and Me
PS : Mohon maaf gambar-gambar agak "buram", yah maklum resolusi rendah di gede-in, beginilah jadinya !
Objek wisata Sigale-gale
Sarkopagus Sidabutar
It's Welly, Rita, Ewis and Me
PS : Mohon maaf gambar-gambar agak "buram", yah maklum resolusi rendah di gede-in, beginilah jadinya !
Sebenarnya masih banyak objek
wisata di Tomok yang seharusnya kami kunjungi. Tapi sayang, waktu yang sangat
“mepet” memaksa kami untuk segera meninggalkan Tomok dan kembali ke kota Medan. Sangat sayang sekali :( …
!
Sekitar pukul 1600 kami kembali. Teman-teman masih menyempatkan diri untuk belanja souvenir di Parapat, saya sendiri hanya membeli 2 buah “shall” bertuliskan “Horas” dan bersulamkan “rumah Bolon” disalah satu ujungnya.
Sekitar pukul 1600 kami kembali. Teman-teman masih menyempatkan diri untuk belanja souvenir di Parapat, saya sendiri hanya membeli 2 buah “shall” bertuliskan “Horas” dan bersulamkan “rumah Bolon” disalah satu ujungnya.
But the most important thing was that I had stepped my both feet on the ground of Toba, and I was truly impressed. It’s
not what I bought, but what i can remember! Standing on this “land” overlooking
the greatest lake Toba "is" more valuable than any souvenirs.
Next post..visiting Brastagi
Next post..visiting Brastagi