TANGKOKO
atau yang di media lebih sering ditulis “Tangkoko
Nature Reserve” adalah cagar alam yang berlokasi kurang lebih 60 km dari
ibu kota Sulawesi Utara, Manado atau 20 km dari kota pelabuhan, Bitung. Untuk
sampai kesana dibutuhkan kurang lebih 3 jam dari kota Manado, atau 1 jam dari
kota Bitung. Rutenya cukup menantang, ruas jalan agak sempit,permukaan jalan
juga tidak mulus, banyak yang bolong sana sini. Lumayan menantang.
Lokasi Tangkoko Nature Reserve |
Detail |
Kenapa disebut Tangkoko?
Karena cagar alam ini berada di area gunung Tangkoko (1,109m). Selain gunung
Tangkoko cagar alam ini juga diapit oleh gunung Batuangus (1,100m) di timur
laut dan gunung Dua Saudara (1,351m) di selatan. Luas keseluruhan Taman
Nasional ini kurang lebih 8,745 hektar yang terdiri dari Taman Nasional Batuputih seluas 615 hektar yang sekaligus merupakan
“entrance gate” ke Tangkoko dan
sering dipakai untuk perkemahan,Taman
Nasional Tangkoko Batuangus seluas 3,196
hektar,Taman Nasional Tangkoko Dua
Saudara seluas 4,299 hektar dan Taman
Nasional Batuangus 635 hektar yang terletak di antara kawasan Tangkoko dan
Desa Pinangunian. Kawasan hutan lindung ini merupakan rintisan Pemerintah
Hindia Belanda tahun 1919.
Keistimewaan dari cagar
alam ini adalah bahwa “-as documented by
scientists – disini terdapat 26 spesies
mamalia 10 diantaranya endemik Sulawesi, 178 spesies burung- salah satu
diantaranya yang terkenal dan sangat langkah adalah Maleo (Macrocephalon Maleo)- 15 spesies reptil (i.e ular
sanca,kobra etc), dan lebih dari 200 spesies tanaman.
Well,
at the very first, jujur sejujur-jujurnya saya benar-benar tidak pernah tahu menahu tentang Tangkoko selama
23 tahun (1986-2007), apalagi ditambah embel-embel Nature Reserve-nya – ya
maklum dari kampung haha – sampai saya ke Manado dan bekerja disana. Karena tiap hari saya
harus mempelajari produk-produk yang dijual perusahaan, ya akhirnya saya “baru
ngeh” jika ternyata di Manado ini ada yang namanya cagar alam Tangkoko (Tangkoko Nature Reserve) yang merupakan
cagar alam tujuan favorit wisatawan-wisatawan asing bahkan ilmuwan pun sudah
pernah kesini untuk melakukan penelitian, sebut saja “the father of biogeography” Alfred Russel Wallace di tahun 1861.
Tangkoko
is right in front of your face, on the tip of your nose and stick to your
forehead now, Jerry!Where have you been?
Mungkin
benar kata orang-orang bijak, keluarlah dari tempurung , maka wawasanmu akan
bertambah.
Nah,di kunjungan ke Tangkoko kali ini, saya kembali mendapat
kehormatan besar dari kantor untuk menjadi “guide”
bagi dua orang tamu kami kakak ber-adik dari USA namanya Mr.Frank dan Ms.Jane
yang berprofesi sebagai guru di California. Kesempatan yang sangat saya
tunggu-tunggu, untuk menuntaskan rasa penasaran saya akan cagar alam Tangkoko.
Me with Frank & Jane berlatar "rumah" Tarsius |
Jika sebelumnya saya
selalu “super galau” jika ditunjuk sebagai pemandu wisata karena keterbatasan
pengetahuan tentang objek wisata dan segala detil-detilnya -cape deh!!- , namun kali ini sepertinya
saya sedikit terbantu karena driver-nya
adalah Pak Freddy. Pak Freddy adalah tipe humoris,bahasa inggris lumayan bagus
dan mengenal medan, secara dia adalah penduduk asli plus sudah tak terhitung jari jam terbangnya ke Tangkoko memandu
wisatawan asing, jadi dia bisa membantu menjelaskan sedikit-sedikit. Walaupun
saya lumayan terbantu dengan keadaan ini, tetapi saya tetap dengan misi khusus yaitu : mendengarkan cara pak Freddy menjelaskan ke tamu dan merekam semua
informasi penting yang dibicarakan.
Kami meninggalkan kota
Manado menuju Bitung sekitar pukul 2 siang. Ya, untuk tour ini sangat disarankan berangkat sore sekitar jam 1-2 dari
Manado dengan perkiraan bahwa anda akan tiba di Tangkoko Nature Reserve sekitar jam 5 sore. Alasannya tentu saja
tidak lain dan tidak bukan karena anda akan diajak untuk menyaksikan –dan tak boleh anda lewatkan- “penampakan”
primata ter-kecil dan ter-langkah sejagat raya yaitu Tarsius ,si hewan “nocturnal” yang menghabisakan waktunya untuk tidur dan
bermalas-malasan di siang hari dan hanya akan keluar sarang jika hari sudah
mulai gelap untuk mencari makan. Yap,tepat sekali, alasan saya “ngebet” ke
Tangkoko adalah karena ingin menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri
bagaimana rupa si “imut” ini (Tarsius).
Sekitar pukul 5 sore kami
tiba di pintu masuk ke cagar alam ini, Batuputih. Seperti kawasan wisata pada
umumnya, disini juga tersedia akomodasi. Tentu saja akomodasi ini diperuntukkan
bagi wisatawan yang melakukan “Tangkoko Overnight
Tour” yang berarti tur nya lebih ekstrim lagi karena meng-eksplorasi hutan
lindung ini saat subuh sampai matahari terbit untuk sekedar berburu photo
hewan-hewan malam atau lebih seringnya mencari “penampakan” burung Maleo atau
menunggui si Tarsius pulang kandang.
Jangan khawatir jika anda
mengunjungi Tangkoko tanpa pemandu,karena disana sudah disediakan “forest ranger” yang tugasnya tentu saja bukan untuk menjelaskan “ini-itu” tetapi lebih kepada: membawa
anda berkeliling, membawa anda ke tempat-tempat yang penting untuk dilihat
dengan aman dan untuk menghindari acara nyasar atau dikeroyok Yaki
LOL!. Biaya ranger sudah termasuk kedalam “entrance
fee” yaitu sekitar Rp.75,000,- per
orang (domestik), dengan 1 orang ranger
maksimal memandu 2 wisatawan. Tapi untuk kami, cukup 1 ranger. Jika anda mengurus tur melalui tur agen lokal, harga
berkisar antara Rp.1,000,000,- per orang (maks 2 orang) –approximate- termasuk: mobil,supir,tiket masuk,ranger,dinner,gratis
penjemputan di hotel area Manado.
**jangan
lupa memakai sepatu,celana panjang,membawa senter dan kamera,memakai losion
anti-serangga.
Setelah membayar entrance
fee, tanpa ba-bi-bu kami langsung
tancap gas mengikuti langkah si ranger.
Si Frank dan Jane kelihatan sangat excited
dengan tour ini, saya mengikuti
mereka dari belakang sambil sesekali bercakap,sementara pak Freddy sudah
didepan.
Yaki (celebio.org) |
Tangkoko Nature Reserve
ini juga merupakan rumah bagi Black Crested Macaque sejenis kera hitam legam berambut mohawk
dengan pantat seksinya yang kemerahan, orang setempat menyebutnya Yaki. Yaki adalah kera asli Sulawesi
Utara dan hanya dapat anda lihat di Tangkoko, tidak ditempat lain. Populasinya
terancam karena terus diburu. Sekitar 30 menit berjalan, kami sudah dapat
mendengar suara Yaki bersahut-sahutan dan bergerombol, meloncat dari pohon ke
pohon, sedikit menyeramkan memang. Oh ya, anda juga harus mewaspadai serangga
sejenis gonone, biasanya bersarang di batang kayu lapuk. Jika terkena gigitannya,
akan menimbulkan bentol-bentol merah,sangat gatal bahkan bisa berbekas hingga
berminggu.
Setelah puas berkeliling
entah kemana saja, segera kami dibawa oleh sang ranger ke salah satu pohon yang lumayan tinggi dan berbatang besar.
Pohon ini merupakan rumah favorit si imut, pohon beringin yang berongga spesies
Ficus.
Dan benar saja, teryata bukan cuma kami ber-empat yang hadir dan “ngabsen” di
pohon ini, wisatawan lain pun sudah mulai berdatangan satu per satu untuk
melihat pertunjukan spektakuler.
Momen yang ditunggu-tunggu
pun akhirnya tiba. Jenggg…jenggg! Si imut pemalu ini pertama-tama hanya
mengintip dari balik lubang pohon karena sadar bahwa orang-orang sudah menunggu
kemunculannya - everybody was so excited-
dan ber H2C. Akhirnya, si imut
baru berani keluar setelah si ranger memancingnya dengan makanan kesukaannya : belalang.
PENAMPAKAN YANG SEMPURNA!!
"si imut" Tarsius |
TARSIUS/Tarsier adalah
sejenis primata terkecil di dunia dan hanya bisa ditemukan di Asia. Besarnya
kira-kira sekepal tangan,matanya besar sekepala yang konon sebesar otaknya.
Sifatnya pemalu, berwarna coklat muda, kelima jarinya yang panjang memungkinkan
menempel erat pada cabang-cabang pohon. Apabila Anda perhatikan jari-jari
tersebut memiliki kuku, kecuali jari kedua dan ketiga yang memiliki cakar.
Did
you know?
- Ada 9 jenis Tarsius di dunia, dan itu hanya bisa ditemukan di Asia. 2 spesies diantaranya terdapat di Filipina dan 7 lainnya terdapat di Indonesia (Sulawesi).
- Dua jenis paling terkenal terdapat di Indonesia yaitu Kera Hantu (Tarsius Tarsier) dan Tarsius Kerdil (Tarsius Pumilus/Pygmy Tarsier).
- Tarsius memiliki kepala yang bisa diputar 180 derajat, berjenis darah O seperti pada manusia dan memiliki frekuensi suara paling tinggi diantara mamalia darat yaitu 91 khz (ultrasonik).
- Rata-rata Tarsius memiliki panjang antara 10-15cm dengan berat 80gram dan dapat melompat sejauh 3 meter dari pohon ke pohon.
- Tarsius Pumilus merupakan jenis Tarsius terkecil dengan panjang tubuh antara 93-98mm dan berat 57 gram.
Setelah puas menyaksikan
si imut Tarsius, tur berakhir dan waktunya kembali ke pos karena keadaan
sekitar semakin gelap. Setibanya di pos kami beristirahat sejenak dengan senyum
kepuasaan dan kemudian bersiap-siap untuk kembali ke kota Manado. Diperjalan
pulang kami singgah dikota Bitung untuk makan malam. Frank & Jane begitu
terkesan dengan tour ini sehingga saat makan malam pun kami diajak untuk duduk
bersama,bercanda dan ngobrol tentang berbagai hal.
For
me myself, pengalaman tur dan memandu ke Tangkoko adalah
pengalaman paling berharga. Selain karena saya mendapatkan banyak informasi
tentang cagar alam ini sendiri, juga karena saya dapat menyaksikan langsung
dengan mata kepala sendiri penampakan “si artis” Tangkoko Nature Reserve,
Tarsius yang tidak ada di Eropa atau Amerika, tapi disini di Indonesia.
Sayangnya, saya tidak sempat melihat satwa-satwa lain sperti burung Maleo, Rangkong
dsb.
Namun cukup sedih juga
mengetahui jika populasi Yaki (penghuni asli hutan Tangkoko) semakin terancam. Program
konservasi “Save the Yaki – Selamatkan Yaki” yang sudah berlangsung beberapa
tahun ini bekerja sama dengan grup konservasi dari Thailand, Jerman dan “Wildlife Conservation Society” berbasis
di USA , diharapkan bisa membantu mencegah kepunahan dan menjaga kelangsungan
hidup satwa asli kita ini. Yah, setidaknya masih ada yang dapat kita “pamerkan”
dan banggakan ke orang-orang barat diluar sana.
Artikel terkait :
Artikel terkait :